Rabu, 12 Agustus 2009

Indonesia berperan sebagai penghasil telur dan daging. Lebih dari 19% kebutuhan telur dipenuhi dari telur itik, akan tetapi perannya sebagai penghasil daging masih rendah yaitu 0,94% dari total kebutuhan daging di Indonesia. Pengelolaan dan pemberian pakan sangat penting diperhatikan karena lebih dari 70% biaya produksi ternak itik baik petelur maupun pedaging berasal dari biaya pakan. Walaupun demikian informasi kebutuhan gizi untuk itik petelur dan pedaging masih terbatas. Oleh karena itu, rekomendasi gizi dari luar negeri dapat digunakan sebagai informasi pelengkap. Air merupakan kebutuhan gizi terpenting untuk unggas termasuk itik sehingga jumlah dan mutu air yang disediakan sangat perlu diperhatikan. Di Indonesia tersedia berbagai jenis bahan pakan lokal yang potensial digunakan sebagai pakan itik. Mutu bahan pakan sangat perlu diperhatikan karena itik ternyata sangat sensitif terhadap keracunan aflatoksin. Kandungan aflatoksin dalam pakan itik yang aman harus kurang dari 40 μg/kg pakan.

PENDAHULUAN


Itik berperan sebagai penghasil telur dan daging. Sebanyak 19,35% dari 793.800 ton kebutuhan telur di Indonesia diperoleh dari telur itik. Perannya sebagai penghasil daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan daging nasional (DITJENNAK, 2001). Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia baik telur maupun daging masih rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan.

SETIOKO (1990) melaporkan bahwa tingkat produktivitas itik petelur yang digembalakan hanya sekitar 26,9 − 41,3% sedangkan tingkat produksi telur itik terkurung dapat mencapai 55,6% dan bahkan KETAREN dan PRASETYO (2000) melaporkan bahwa produksi telur itik selama setahun adalah sebanyak 69,4%. Rendahnya produksi telur tersebut sebagian disebabkan oleh pakan yang tidak memadai. Nyatanya produksi telur itik gembala tersebut dapat ditingkatkan dari 38,3% menjadi 48,9% dengan memberi pakan tambahan (SETIOKO et al., 1992; SETIOKO et al., 1994). Juga dilaporkan bahwa bobot telur meningkat dari rata– rata 66,9 menjadi 71,1 gram dengan pemberian pakan tambahan 24 gram tepung kepala udang kepada itik gembala selama musim kering atau dengan memberi pakan tambahan tepung ikan dan vitamin-mineral premix.

Tingkat produktivitas itik petelur terkurung lebih tinggi dari produktivitas itik gembala karena mutu pakan yang diberikan lebih baik. Produksi telur itik silang Mojosari dan Alabio yang dikenal dengan itik MA mencapai 69,4% atau 253 butir selama 365 hari dengan mutu pakan yang baik. Itik tersebut menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan pakan yang diukur dengan Feed Conversion Ratio (FCR) 4,10 dengan rataan bobot telur 69,7 g/butir (KETAREN dan PRASETYO, 2000). KETAREN dan PRASETYO (2002) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan pakan itik petelur selama empat bulan produksi pertama dapat diperbaiki dari 5,67 (KETAREN dan PRASETYO, 2000) menjadi 2,88 dengan memberi pakan bentuk pelet pada tingkat konsumsi pakan sebanyak 154 g/ekor/hari. Perbaikan efisiensi pakan pelet tersebut kemungkinan PIUS P. KETAREN: Kebutuhan Gizi Itik Petelur dan Itik Pedaging 38 lebih diakibatkan oleh penurunan jumlah pakan yang tercecer, terlihat dari jumlah konsumsi pakan sebanyak 154 g/ekor/hari yang lebih rendah dari yang dilaporkan oleh peneliti lain yaitu sekitar 170 g/ekor/hari.

Pakan berperan sangat penting dalam usaha peternakan itik. SETIOKO dan ROHAENI (2001) yang melakukan penelitian pada itik Alabio sebanyak 1080 ekor melaporkan bahwa rataan porsi biaya pakan untuk produksi telur selama 12 bulan sebanyak 77,0% dengan kisaran antara 75,79 − 77,70%. Selanjutnya MAHMUDI (2001), peternak itik petelur komersial di Blitar melaporkan bahwa rataan porsi biaya pakan ternak itik Mojosari yang dipelihara secara intensif selama 12 bulan produksi sebanyak 74,66%. Dilaporkan oleh peternak itik di Sawangan (SANTOSO, 2001, komunikasi pribadi) bahwa porsi biaya pakan terhadap total biaya produksi itik Mandalung umur 7 minggu adalah 69%. Dengan rataan biaya pakan sebanyak lebih 70% dari total biaya produksi maka jelas bahwa kecermatan dalam pengelolaan pakan akan sangat menentukan keberhasilan dan efisiensi usaha peternakan itik tersebut.

Efisiensi penggunaan pakan itik petelur yang biasa diukur dengan FCR masih sangat buruk yaitu berkisar antara 3,2 – 5,0 dibandingkan dengan ayam ras petelur yang hanya 2,4 – 2,6 selama setahun produksi (HY− LINE INTERNATIONAL, 1986). Begitu pula FCR itik pedaging/itik jantan yang digemukkan juga masih sangat buruk yaitu 3,2 – 5,0 jika dibandingkan dengan FCR ayam ras pedaging yang hanya 2,1 – 2,2 pada umur yang sama 8 minggu (INDIAN RIVER INTERNATIONAL, 1988). Ini mengindikasikan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi telur maupun daging itik jauh lebih mahal dibanding biaya produksi untuk telur maupun daging ayam ras, karena itik membutuhkan jumlah pakan yang jauh lebih banyak untuk memproduksi daging yang sama jumlahnya. Buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik petelur maupun pedaging diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk (1) faktor genetik, (2) banyaknya pakan tercecer dan (3) kandungan gizi pakan yang tidak sesuai kebutuhan. I

nformasi kebutuhan gizi itik petelur dan pedaging untuk kondisi Indonesia masih sangat terbatas. Berkenaan dengan hal tersebut maka makalah ini berusaha menyajikan informasi tentang kebutuhan gizi untuk itik petelur dan pedaging yang dirangkum dari literatur dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, diharapkan para peternak dapat menyusun formula pakan berdasarkan informasi kebutuhan gizi yang diuraikan berikut ini.

KEBUTUHAN GIZI ITIK PETELUR

Telah banyak dilakukan penelitian tentang kebutuhan protein dan energi pada itik petlur lokal. Dari hasil-hasil penelitian tersebut, SINURAT (2000) menyusun rekomendasi kebutuhan gizi itik petelurpada berbagai umur (Tabel 1). Sangat disayangkan National Research Council (NRC, 1994) tidak menyediakan data tentang kebutuhan gizi untuk itik petelur tapi hanya menyediakan informasi untuk itik Pekin putih yang tergolong tipe dwiguna. Oleh karena itu, kebutuhan gizi itik petelur dan terutama itik pedaging untuk Indonesia perlu ditetapkan lebih lanjut melalui penelitian nutrisi terutama untuk melengkapi informasi kebutuhan gizi dalam negeri. Rekomendasi yang tersedia saat ini dikelompokkan berdasarkan umur yaitu: pakan starter untuk itik berumur 0 – 8 minggu, pakan grower untuk itik berumur 9 – 20 minggu, dan pakan petelur untuk itik berumur lebih dari 20 minggu

KETAREN dan PRASETYO (2002) melaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur pada fase pertumbuhan umur 1 − 16 minggu cenderung lebih rendah yaitu sekitar 85 − 100% dari rekomendasi pada Tabel 1. Selanjutnya dilaporkan bahwa kebutuhan gizi untuk itik petelur fase produksi 6 bulan pertama cenderung lebih rendah (± 3%) dibanding kebutuhan gizi pada fase produksi 6 bulan kedua. Dilaporkan bahwa kebutuhan lisin untuk itik berumur 0 − 8 minggu adalah 3,25 g/kkal EM dengan tingkat energi 3.100 kkal EM/kg dan 2,75 g/kkal EM dengan tingkat energi 2.700 kkal EM/kg pakan. Dalam penelitian tersebut juga dilaporkan kebutuhan asam amino lain pada berbagai tingkat energi pakan

1 komentar: